BAB V
Pendahuluan
- Latar Belakang
Model atau rancangan bahkan model dalam kurikulum adalah komponen yang sangat menentukan keberhasilan sebuah proses pendidikan. Mendesain kurikulum bukanlah pekerjaan yang ringan. Ia membutuhkan kajian yang komprehensif dalam rangka mendapatkan hasil yang dapat mengakomodir tuntutan dan perubahan zaman. Mendesain kurikulum berarti menyusun model kurikulum sesuai dengan misi dan visi sekolah. Tugas dan peran seorang desainer kurikulum, sama seperti arsitek. Sebelum menentukan bahan dan cara mengkonstruksi bangunan terlebih dahulu seorang arsitek harus merancang model bangunan yang akan dibangun.
Kurikulum yang ada pada pendidikan tinggi akuntansi di beberapa atau hampir semua perguruan tinggi, baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia mengalami stagnasi, statis, dan berorientasi pada materialitas. Stagnasi terlihat dari adopsi dan replikasi kurikulum dari beberapa PTN terkenal pada PTN-PTN maupun PTS-PTS yang kurang terkenal atau agak terkenal. Nuansa hegemoni pada dunia pendidikan tinggi akuntansi terasa mengental, bahkan menuju ke arah status quo kurikulum pendidikan tinggi akuntansi. Parahnya lagi, kurikulum yang digunakan oleh beberapa PTN terkenal sudah mengalami perubahan, pengurangan, dan penambahan muatan materi. Akan tetapi, baik PTN-PTN maupun PTS-PTS yang dulunya mengekor kurikulum beberapa PTN terkenal tidak melakukan perubahan kurikulum atau mengalami stagnasi kurikulum yang berkelanjutan.
Kenikmatan dan kenyamanan karena adanya hegemoni tersebut membuat pola pikir dan arah nalar para pendidik dan anak didik terpasung dalam ”pendidikan yang menjerumuskan” bukannya ”pendidikan yang membebaskan”. Untuk itu, internalisasi sikap, perilaku, dan tindakan kritis pada kurikulum pendidikan tinggi akuntansi mutlak dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan melakukan kajian kritis pada setiap adopsi dan replikasi kurikulum yang digunakan oleh beberapa PTN terkenal.
Kestatisan pada kurikulum pendidikan tinggi akuntansi terlihat dari tidak adanya kreativitas dalam kurikulum tersebut. Kalau terdapat kreativitas, itu pun mengarah pada materialitas yang selama ini sudah didoktrinkan oleh beberapa pendidik kepada anak didik. Ketiadaan kreativitas ini terbelenggu dengan adanya pembatasan kurikulum yang semata-mata mengacu pada hal-hal yang berbau ekonomi dan hitungan saja. Pengembangan intuisi, imajinasi, dan inspirasi yang mengarah pada inovasi tidak atau kurang diinternalisasi pada kurikulum. Begitu pula keterkaitan pendidikan tinggi akuntansi dengan ilmu-ilmu sosial lainnya kurang begitu diperhatikan, apalagi dengan ilmu-ilmu yang bersifat pasti. Bukankah satu bidang keilmuan terkait dengan bidang keilmuan lainnya, mengapa kemudian kurikulum pendidikan tinggi akuntasi masih bersifat egois. Adanya pemasungan kreativitas pada kurikulum tersebut mengakibatkan terhambatnya daya inovasi, inspirasi, dan imajinasi sekaligus menumpulkan intuisi dalam pengembangan pendidikan tinggi akuntansi.
Keterjebakan kurikulum pendidikan tinggi akuntansi pada stagnasi dan statis ternyata diperparah dengan mengarahkannya kepada materialitas semata. Nilai-nilai mentalitas, seperti kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang masih terasa ”kering dan hambar” di dalam kurikulum pendidikan tinggi akuntansi. Hampir semua kurikulum pada pendidikan tinggi akuntansi menafikan nilai-nilai mentalitas, tetapi mengutamakan nilai-nilai materialitas. Keseimbangan muatan kurikulum pada nilai materialitas dan mentalitas berjalan berat sebelah. Strategi balanced scorecard yang diajarkan pada intinya dimuarakan pada kepentingan materialitas bukannya keseimbangan antara materialitas dan mentalitas. Akibatnya, dapat ditebak bahwa keluaran dari pendidikan tinggi akuntansi adalah insan-insan yang dicekoki dengan materilitas dan distigma sebagai bibit-bibit kapitalis yang tak bermental. Untuk itu, strategi pembelajaran pada pendidikan tinggi akuntansi harus diberi fondasi terlebih dahulu dengan internalisasi sosiologi kritis, kreativitas, dan mentalitas. Hal ini tidak berhenti pada fondasi saja, tetapi juga diupayakan merasuki kurikulum-kurikulum yang ada pendidikan tinggi akuntansi. Selain itu, juga mengubah strategi pembelajaran yang selama ini berdasarkan pada konsep reproductive view of learning menjadi constructive view of learning. Konsep ini pada dasarnya membangun tanpa merusak fondasi yang sudah baik pada proses belajar mengajar selama ini. Konsep reproductive view of learning yang selama ini dihasilkan hanya menghasilkan keluar an yang bersifat membebek tanpa mampu bersikap kritis, kreatif dan mempunyai nilai-nilai mental. Ini berbeda dengan konsep constructive view of learning yang berpegang pada nilai-nilai kritis, kreatif, dan nuansa mentalitas. Dalam konsep ini agar dihasilkan mutu pendidikan tinggi akuntansi yang berkualitas, maka anak didik diinternalisasi dengan sikap kritis. Salah satu diantaranya adalah dengan paradigma dekonstruksi, keluar dari kotak awal pengetahuan yang membelenggu, serta dijiwai nilai-nilai mentalitas berupa kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang.
Para ahli kurikulum berupaya merumuskan macam-macam desain kurikulum. Eisner dan Vallance (1974) menyebutnya menjadi lima jenis, yaitu model pengembangan proses kognitif, kurikulum sebagai teknologi, kurikulum sebagai aktualisasi diri, kurikulum sebagai rekonstruksi sosial, dan kurikulum rasionalisasi akademis. Mc Neil (1977) membagi desain kurikulum menjadi empat model, yaitu model kurikulum humanistis, kurikulum rekonstruksi sosial, kurikulum teknologi, dan kurikulum subjek akademik.
Saylor, Alexander, dan Lewis (1981) membagi desain kurikulum menjadi kurikulum subject matter disiplin, kompetensi yang barsifat spesifik atau kurikulum teknologi, kurikulum sebagai proses, kurikulum sebagai fungsi sosial, dan kurikulum yang berdasarkan minat individu. Sedangkan Shane (1993) membagi desain kurikulum menjadi empat desain, yaitu desain kurikulum yang berorientasi pada masyarakat, desain kurikulum yang berorientasi pada anak, desain kurikulum yang berorientasi pada pengetahuan, dan desain kurikulum yang bersifat eklektik.
Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengolahan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang digunakan. Model pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya sentralisasi berbeda dengan yang desentralisasi. Model pengembangan dalam kurikulum yang sifatnya subjek akademis berbeda dengan kurikulum humanistik, teknologis dan rekonstruksi sosial.
Ada beberapa model pengembangan kurikulum :
- Admistrative Model
Model pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi nama model administratif atau line staff karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi.
- Grass Root Model
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Diberi nama Grass root karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum datang dari seorang guru sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah.
Mencermati hal diatas maka penulis tidak dalam upaya untuk menyajikan kurikulum dari asfek model-modelnya secara keseluruhan. Namun akan lebih mencermati sekaligus mengkaji kurikulum sesuai dengan judul yang ditugaskan kepada penulis, yaitu model pengembangan kurikulum dengan menggunakan pendekatan Grass Roots.
- Tujuan
- Menjelaskan pengertian kurikulum Grass Roots
- Menjelaskan sejarah kurikulum Grass Roots
- Menjelaskan ciri khas kurikulum Grass Roots
The grass root model Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan yang bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitas biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan kurikulum model grass root tampaknya akan lebih baik. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya. Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass roots-nya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif. Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan the grass-root model. Kendati demikian, agar pengembangan kurikulum dapat berjalan efektif tentunya harus ditopang oleh kesiapan sumber daya, terutama sumber daya manusia yang tersedia di sekolah.
Sejarah Grass Roots
Dilihat dari cakupan pengembangannya ada dua pendekatan yang dapat diterapkan. Pertama, pendekatan top down atau pendekatan administrative, yaitu pendekatan dengan sistem komando dari atas ke bawah; dan kedua adalah pendekatan grass root, atau pengembangan kurikulum yang diawali oleh inisiatif dari bawah lalu disebarluaskan pada tingkat atau skala yang lebih luas, dengan istilah singkat sering dinamakan pengembangan kurikulum dari bawah ke atas.
Kalau pada pendekatan administratif inisiatif pengembangan kurikulum berasal dari para pemegang kebijakan kemudian turun ke stafnya atau dari atas ke bawah, maka dalam model grass roots, inisiatif pengembangan kurikulum dimulai dari lapangan atau dari guru-guru sebagai implementator, kemudian menyebar pada lingkungan yang lebih luas, makanya pendekatan ini dinamakan juga pengembangan kurikulum dari bawah ke atas. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka pendekatan ini lebih banyak digunakan dalam penyempurnaan kurikulum (curriculum improvement), walaupun dalam skala yang terbatas mungkin juga digunakan dalam pengembangan kurikulum baru (curriculum construction).
Dalam kondisi yang bagaimana kiri-kira guru dapat berinisiatif memperbarui dan atau menyempurnakan kurikulum dengan pendekatan semacam ini ? Ya, minimal ada syarat sebagai kondisi yang memungkinkan pendekatan grass roots dapat berlangsung. Pertama, manakala kurikulum itu benar-benar bersifat lentur sehingga memberikan kesempatan kepada setiap guru secara lebih terbuka untuk memperbarui atau menyempurnakan kurikulum yang sedang diberlakukan. Kurikulum yang bersifat kaku, yang hanya mengandung petunjuk dan persyaratan teknis sangat sulit dilakukan pengembangannya dengan pendekatan ini.
Kedua, pendekatan grass roots hanya mungkin terjadi manakala guru memiliki sikap professional yang tinggi disertai kemampuan yang memadai. Sikap professional itu biasanya ditandai dengan keinginan untuk mencoba dan mencoba sesuatu yang baru dalam upaya untuk meningkatkan kinerjanya. Seorang professional itu akan selalu berusaha menambah pengetahuan dan wawasannya dengan menggali sumber-sumber pengetahuan. Ia juga akan selalu mencoba dan mencoba untuk mencapai kesempurnaan. Ia tidak akan puas dengan hasil yang minimal. Ia akan bisa tenang manakala hasil kinerjanya sesuai dengan target maksimalnya. Dalam kondisi yang demikianlah grass roots akan terjadi.
Kemudian bagaimana dengan kenyataan di Indonesia ? banyakkah guru-guru yang mempunyai kemauan dan kemampuan seperti ini ? Baiklah sekarang jangan terlalu hiraukan keadaan itu secara berlebihan, yang terpenting adalah kita harus mulai memahami bagaimana pelaksanaan pendekatan grass roots ini dilakukan. Ada beberapa langkah penyempurnaan kurikulum yang dapat kita lakukan manakala menggunakan pendekatan grass roots ini.
Pertama, menyadari adanya masalah. Pendekatan grass roots biasanya diawali dari keresahan guru tentang kurikulum yang berlaku. Misalnya dirasakan ketidakcocokan penggunaan strategi pembelajaran, atau kegiatan evaluasi seperti yang diharapkan, atau masalah kurangnya motivasi belajar siswa sehingga kita merasa terganggu, dan lain sebaginya. Pemahaman dan kesadaran guru akan adanya suatu masalah merupakan kunci dalam grass roots. Tanpa adanya kesadaran masalah tidak mungkin grass roots dapat berlangsung. Kedua, mengadakan refleksi. Kalau kita merasakan adanya masalah, maka selanjutnya kita berusaha mencari penyebab munculnya masalah tersebut. Refleksi dilakukan dengan mengkaji literatur yang relevan misalnya dengan membaca buku, jurnal hasil penelitian yang relevan dengan latar belakangnya. Dengan pemahaman tersebut, akan memudahkan bagi guru dalam mendesain lingkungan yang dapat mengaktifkan siswa memperoleh pengalaman belajar.
Ada beberapa prinsip dalam menentukan pengalaman belajar siswa. Pertama, pengalaman siswa harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Setiap tujuan akan menentukan pengalaman pembelajaran.
Kedua, setiap penglaman belajar harus memuaskan siswa.
Ketiga, Setiap rancangan pengalaman siswa belajar sebaiknya melibatkan siswa. Keempat, mungkin dalam satu penglaman belajar dapat mencapai tujuan yang berbeda. Terdapat beberapa bentuk pengalaman belajar yang dapat dikembangkan, misalkan pengalaman belajar untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa, pengalaman belajar untuk membantu siswa dalam mengumpulkan sejumlah informasi, pengalaman belajar untuk membantu mengembangkan sikap sosial, dan pengalaman belajar untuk membantu mengembangkan minat.
Untuk lebih merinci, penulis akan mengulas kembali secara rinci, bahwa inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Diberi nama Grass roots karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum datang dari seorang guru sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah : Perencana, pelaksana, penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dari beberapa kajian di atas, maka dapat ditemukan ciri-ciri dari grass roots model yaitu :
1.Guru memiliki kemampuan yang professional.
2.Keterlibatan langsung dalam perumusan tujuan, pemilihan bahan dan penentuan
evaluasi.
3.Muncul konsensus tujuan, prinsip – prinsip maupun rencana – rencana diantara
para guru.
4.Bersifat desentralisasi dan demokratis.
Model akar rumput dikembangkan oleh Smith, Stanley & Shores pada tahun 1957. Model akar rumput atau disebut dengan the grass roots model berbeda dengan rekayasa model administrasi. Misalnya model ini diawali oleh guru, pembina disekolah dengan mengabaikan metode pembuatan keputusan kelompok secara demokratis dan dimulai dari bagian-bagian yang lemah kemudian diarahkan untuk memperbaiki kurikulum tertentu yang lebih spesifik atau kelas-kelas tertentu. Dalam model ini didasarkan pada pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna pengajaran dikelasnya. Jadi bedanya pada bila model Administrasi bersifat sentralisasi pada model akar rumput ini bersifat desentralisasi. Hal ini memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan menghasilkan manusia-manusia yang mandiri dan kreatif.
Orientasi yang demokratis dari rekayasa ini bertanggung jawab membangkitkan 2 asumsi yang sangat penting yaitu :
1. bahwa kurikulum hanya dapat diterapkan secara berhasil apabila guru dilibatkan secara langsung dengan proses pembuatan dan pengembangannya.
2. bukan hanya para profesional, tetapi murid, orang tua, anggota masyarakat lain harus dimasukkan dalam proses pengembangan kurikulum.
Prinsip-Prinsip Model Akar Rumput
Guru sebagai kunci dalam rekayasa kurikulum yang efektif, digambarkan pada 4 prinsip dibawah ini :
1. kurikulum akan baik apabila kemampuan profesional guru baik. 2. Kompetensi guru akan membaik apabila guru terlibat secara pribadi dalam masalah perbaikan/revisi kurikulum. 3. Jika guru ikut serta dalam membentuk tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam memilih, mendefinisikan, memecahkan masalah yang akan dihadapi, mempertimbangkan dan menilai hasil maka keterlibatannya paling terjamin. 4. Setiap orang yang bertemu dalam kelompok dan bertatap muka, mereka akan dapat memahami satu sama lain dengan lebih baik dan mencapai suatu konsensus berdasarkan prinsip-prinsip dasar, tujuan dan rencana. (Stanley, Smith and Shores 1957:429) Prinsip ini bersifat operasional, karena guru didorong untuk bekerja secara kooperatif dalam merencanakan kurikulum baru. Dorongan terjadi bila pihak administrator menyediakan jabatan, waktu luang, material dan rangsangan lain yang kondusif terhadap perencanaan kurikulum.
Kelebihan Model Akar Rumput Dari penjelasan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa kelebihan dari Model Akar Rumput ini adalah pengikutsertaan semua komponen sekolah dari kepala sekolah, guru, siswa bahkan orang tua siswa. Meskipun dalam hal ini tidak mengetahui apakah itu kurikulum akan tetapi demi tanggung jawab dan kepentingan dari siswa maka hal-pengembangan kurikulum yang dilakukan harus melibatkan orang tua siswa.
Kelemahan Model Akar Rumput Kelemahan model ini adalah menerapkan metode partisipasi yang demokratis dalam proses yang khusus, bersifat teknis yang kompleks. Ini tidak berarti bahawa keputusan masyarakat umumnya tidak perlu diperhatikan atau para guru tidak boleh diberi peran dalam rekayasa kurikulum. Ini hanya untuk menyatakan bahwa peran dasar pemikiran satu suara tidak atau belum tentu menghasilkan sesuatu yang terbaik dalam suatu situasi, otoritas tertentu amat diperlukan. Namun perlu diingat bahwa model ini lebih memberikan konstribusi awal dalam memperkuat landasan pembuatan keputusan kurikulum dan dalam hal itu model ini bertanggung jawab terhadap keinginan-keinginan masyarakat.
Modifikasi Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Diberi nama Grass root karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum datang dari seorang guru sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah : 1.Perencana 2.Pelaksana 3.Penyempurna dari pengajaran di kelasnya Dari beberapa kajian di atas, maka dapat ditemukan ciri-ciri dari grass root model yaitu : Guru memiliki kemampuan yang professional. Keterlibatan langsung dalam perumusan tujuan, pemilihan bahan dan penentuan evaluasi. Muncul konsensus tujuan, prinsip – prinsip maupun rencana – rencana diantara para guru. Bersifat desentralisasi dan demokratis
Pengembang Kurikulum Dalam mengembangkan suatu kurikulum banyak pihak yang turut berpartisipasi yaitu administrator pendidikan, ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli bidang ilmu pengetahuan, guru-guru dan orang tua murid serta tokoh-tokoh masyarakat. Dari pihak-pihak tersebut yang secara terus menerus turut terlibat dalam pengembangan kurikulum adalah administrator, guru dan orang tua. 1. Peranan para administrator pendidikan : Para administrator pendidikan terdiri atas : a. Direktur bidang pendidikan b. Kepala pusat pengembangan kurikulum c. Kepala kantor wilayah d. Kepala kantor kabupaten, kecamatan e. Kepala Sekolah
Peran para administrator di tingkat pusat ( direktur dan kepala pusat ) yaitu : 1) Menyusun dasar-dasar hukum 2) Menyusun kerangka dasar serta program inti kurikulum 3) Atas dasar dari peranan para administrator pusat, maka para administrator daerah ( kepala kantor wilayah, kabupaten, kecamatan, kepala sekolah ) mengembangkan kurikulum sekolah bagi daerahnya yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Para kepala sekolah ini sesungguhnya yang secara terus-menerus terlibat dalam dalam mengembangkan dan mengimplementasi kurikulum, memberikan dorongan dan bimbingan kepada guru-guru. Walaupun dapat mengembangkan kurikulum sendiri, tetapi dalam pelaksanaannya sering harus didorong dan dibantu oleh para administrator. Administrator lokal harus bekerja sama dengan kepala sekolah dan guru dalam mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mengkomunikasikan sistem pendidikan kepada masyarakat, serta mendorong pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru di kelas. Peranan kepala sekolah lebih banyak berkenaan dengan implementasi kurikulum di sekolahnya. Kepala sekolah juga mempunyai peranan kunci dalam menciptakan kondisi untuk pengembangan kurikulum di sekolahnya. Ia merupakan figur kunci di sekolah, kepemimpinan kepala sekolah sangat mempengaruhi suasana sekolah dan pengembangan kurikulum.
2. Peranan para ahli Mengacu pada kebijaksanaan yang ditetapakan pemerintah, maka peranan para ahli yakni a. Memberikan alternatif konsep pendidikan dan model kurikulum yang dipandang paling sesuai dengan keadaan dan tuntuatan di atas. b. Berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum baik dalam tingkat pusat maupun pada tingkat daerah, lokal bahkan sekolah. c. Memilih materi bidang ilmu yang mutakhir dan sesuai dengan pengembangan tuntutan masyarakat. d. Menyusun materi ajaran dalam sekuens yang sesuai dengan struktur keilmuan, tetapi sangat memudahkan para siswa untuk mempelajarinya. 3. Peranan Guru. Guru memegang peranan yang sangat penting baik di dalam perencanaan maupu pelaksanaan kurikulum. Beberapa peran guru sebagai berikut : a. Sebagai perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. b. Sebagai penerjemah kurikulum yang datang dari atas. c. Mengolah, meramu kembali kurikulum dari pusat untuk disajikan di kelasnya. d. Melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kurikulum. e. Menilai perilaku dan prestasi belajar siswa si kelas f. Menilai implementasi kurikulum dalam lingkup yang lebih luas g. Sebagai seorang komunikator, pendorong kegiatan belajar, pengembang alat-alat belajar, pencoba, penyusunan organisasi, manager sistem pengajaran h. Pembimbing baik di sekolah maupun di masyarakat dalam hubungannya dengan pelaksanan pendidikan seumur hidup i. Sebagai pelajar dalam masyarakatnya j. Menciptakan kegiatan belajar mengajar, situasi belajar yang aktif yang menggairahkan yang penuh kesungguhan dan mampu mendorong kreativitas anak.
4. Peranan orang tua murid. Peranan orang tua murid dalam pengembng kurikulum yaitu : Melalui pengamatan dalam kegiatan belajar di rumah, laporan sekolah, partisipasi dalam kegiatan sekolah dalam bentuk pelaksanaan kegiatan belajar yang sewajarnya, minat yang penuh, usaha yang sungguh-sungguh. Kegiatan –kegiatan tersebut akan memberikan umpan balik bagi penyempurnaan kurikulum.
- A. MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
Model pengembangan kurikulum merupakan suatu alternatif prosedur dalam rangka mendesain (designing), menerapkan (implementation), dan mengevaluasi (evaluation) suatu kurikulum. Oleh karena itu, model pengembangan kurikulum harus dapat menggambarkan suatu proses sistem perencanaan pembelajaran yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan standar keberhasilan pendidikan. (Ruhimat, T. dkk 2009: 74).
Pengembangan kurikulum perlu dilakukan dengan berlandaskan pada teori yang tepat agar kurikulum yang berhasil bisa efektif. Seperti dalam pernyataan di atas, bahwasanya model pengembangan kurikulum merupakan alternatif dalam mendesain, menerapkan dan mengevaluasi serta tindak lanjut dalam pembelajaran. Banyak model pengembangan kurikulum yang telah ada, dan masing-masing dari model pengembangan kurikulum memiliki karakteristik yang sama, yang mengacu berbasis pada tujuan yang akan dicapai dalam kurikulum tersebut, seperti alternatif yang menekankan pada kebutuhan mata pelajaran, peserta didik, penguasaan kompetensi suatu pekerjaan, kebutuhan masyarakat atau permasalahan sosial.
Sedangkan dalam praktiknya, model pengembangan kurikulum cenderung lebih menekankan pada isi materi yang sistematik dan logis, dan implementasinya pada kehidupan masyarakat sering diabaikan.
Agar dapat mengembangkan kurikulum yang baik, sebaiknya para ahli kurikulum memahami dengan terperinci berbagai model pengembang kurikulum. Yang dimaksud dengan model pengembang kurikulum adalah langkah atau prosedur yang sistematis dalam penyusunan kurikulum. Sehingga terjadi keseimbangan antara teori dan praktik mengenai kurikulum. Hal tersebut diharapkan dapat terwujudnya kurikulum yang ideal dan optimal. Dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai beberapa model pengembangan kurikulum seperti model Tyler, Administratif, Grassroot, Demonstrasi, Seller dan Miller, Taba dan model Beauchamp.
- 1. Model Ralph Tyler
Model pengembangan kurikulum yang ditemukan Tyler diajukan berdasarkan pada beberapa pertanyaan yang mengarah pada langkah-langkah dalam pengembangan kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah :
- Tujuan pendidikan apa yang dicapai oleh sekolah?
b. Pengalaman-pengalaman pendidikan apakah yang semestinya diberikan untuk mencapai tujuan pendidikan?
c. Bagaimanakah pengalaman-pengalaman pendidikan sebaiknya diorganisasikan?
d. Bagaimanakah menentukan bahwa tujuan telah tercapai?
Berdasar pada empat pertanyaan tersebut, Tyler merumuskan empat tahap yang harus dilakukan dalam pengembangan kurikulum, yaitu meliputi:
a. Menentukan Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan arah atau sasaran akhir yang harsu dicapai dalam program pendidikan dan pembelajaran. Tujuan pendidikan harus menggambarkan perilaku akhir setelah peserta didik mengikuti program pendidikan, sehingga tujuan tersebut harus dirumuskan secara jelas dan terperinci.
Ada tiga aspek yang harus dipertimbangkan sebagai sumber dalam penentuan tujuan pendidikan menurut Tyler, yaitu:
1) hakikat peserta didik,
2) kehidupan masyakat masa kini, dan
3) pandangan para ahli bidang studi.
Penentuan tujuan pendidikan dengan berdasar kepada ketiga aspek diatas, selanjutnya difilter oleh nilai-nilai filosofis masyarakat dan filosofis pendidikan serta psikologi belajar.
Ada lima faktor yang menjadi arah penentuan tujuan pendidikan, yaitu: pengembangan kemampuan berpikir, membantu memperoleh informasi, pengembangan sikap kemasyarakatan, pengembangan minat peserta didik, dan pengembangan sikap sosial.
- Menentukan Proses Pembelajaran
Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam penentuan proses pembelajaran adalah persepsi dan latar belakang kemampuan peserta didik. Pengalaman peserta didik akan sangat membantu dalam terwujudnya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam proses pembelajaran akan terjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungan pendidikan atau sumber belajar, yang tujuannya untuk membentuk sikap, pengetahuan dan keterampilan sehingga muncul perilaku yang utuh.
- Menentukan Organisasi Pengalaman Belajar
Pengalaman belajar sangat dipengaruhi oleh tahapan-tahapan dan isi atau materi belajar. Tahapan-tahapan belajar yang tersusus dengan rapi akan sangat membantu terwujudnya tujuan pembelajaran. Kejelasan materi dan proses pembelajaran akan memberikan gambaran mengenai jenis evaluasi yang akhirnya dapat digunakan.
- Menentukan Evaluasi Belajar
Menentukan evaluasi belajar yang cocok merupakan tahap akhir dalam model Tyler. Dalam menentukan evalusi belajar hendaknya mengacu pada tujuan pembelajaran, materi pembelajaran serta proses pembelajaran yang telah ditentukan sebelumnya. Selain itu, hendaknya merujuk pula pada prinsip-prinsip evaluasi yang ada.
- 2. Model Administratif
Pengembangan kurikulum ini disebut juga dengan istilah dari atas ke bawah (top down) atau staff lini (line-staff procedure), artinya dalam pengembangan kurikulum ini terdapat beberapa tahapan secara prosedural yang harus ditempuh dengan dibantu oleh beberapa tim tertentu.
Langkah pertama adalah pembentukan ide awal yang dilaksanakan oleh para pejabat tingkat atas, yang membuat keputusan dan kebijakan berkaitan dengan pengembangagn kurikulum. Tim ini sekaligus sebagai tim pengarah dalam pengembangan kurikulum.
Langkah kedua adalah membentuk suatu tim panitia pelaksana atau komisi untuk mengembangkan kurikulum yang didukung oleh beberapa anggota yang terdiri dari para ahli, yaitu: ahli pendidikan, kurikulum, disiplin imu, tokoh masyarakat, tim pelaksana pendidikan, dan pihak dunia kerja. Tim ini bertugas untuk mengembangkan konsep-konsep umum, landasan, rujukan, maupun strategi pengembangan kurikulum yang selanjutnya menyusun kurikulum secara opersional berkaitan dengan pengembangan atau perumusan tujuan pendidikan maupun pembelajaran, pemilihan dan penyusunan rambu-rambu dan substansi materi pembelajaran, menyusun alternatif proses pembelajaran, dan menentukan penilaian pembelajaran.
Langkah ketiga, kurikulum yang sudah selesai disusun kemudian diajukan untuk diperiksa dan diperbaiki oleh tim pengarah. Tim ini melakukan penyesuaian antara aspek-aspek kurikulum secara terkoordinasi dan menyiapkan secara sistem dalam rangka uji coba maupun dalam rangka sosialisasi dan penyebarluasan (desiminasi). Setelah perbaikan dan penyempurnaan, kurikulum tersebut perlu diujicobakan secara nyata di beberapa sekolah yang diangga representatif. Pelaksana uji coba adalah tenaga professional yang tidak dilibatkan dalam penyusunan kurikulum.
Supaya uji coba tersebut menghasilkan masukan yang efektif maka diperlukan kegiatan monitoring dan evaluasi yang fungsinya untuk memperbaiki atau menyempurnakan berdasarkan pelaksanaan di lapangan. Kelemahan dari model administratif adalah kurikulum ini bentuknya seragam dan bersifat sentralistik, sehingga kurang sesuai jika diterapkan dalam dunia pendidikan yang menganut asas desentralisasi. Selain dari pada iti, kurikulum ini kurang tanggap terhadap perubahan nyata yang dihadapi para pelaksana kurikulum di lapangan.
- 3. Model Grass Roots
Pengembangna kurikulum model ini adalah kebalikan dari model administratif. Model Grass Roots adalah model pengembangan kurikulum yang dimulai dari bawah. Dalam prosesnya pengembangan kurikulum ini diawali atau dimulai dari gagasan dan ide guru-guru sebagai tim pengajar. Model ini lebih demokratis karena digagas sendiri oleh pelaksana di lapangan, sehingga perbaikn bisa dimulai dari unit yang paling terkecil dan spesifik hingga ke yang lebih besar.
Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatian dalam menerapkan model pengembangan grass roots ini, yaitu:
a. guru harus memiliki kemampuan yang professional,
b. guru harus terlibat penuh dalam perbaikan kurikulum dan penyelesaian masalah kurikulum,
c. guru harus terlibat langsung dalam perumusan tujuan, pemilihan bahan, dan penentuan evalusi,
d. seringnya pertemuan kelompok dalam pembahasan kurikulum yang akan berdampak terhadap pemaham guru dan akan menghasilkan konsesus tujuan, prinsip, maupun rencana-rencana.
Model pengambangan kurikulum ini dapat dikembangakan pada lingkup luas maupun dalam lingkup yang sempit. Dapat berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi dapat pula digunakan untuk beberapa bidang studi maupun pada beberapa sekolah yang lebih luas. dalam prosesnya, guru-guru harus mampu melakukan kerja operasional dalam pengembangan kurikulum secara kooperatif sehingga dapat menghasilkan suatu kurikulum yang sistemik.
Oleh karena itu pengembangan kurikulum model ini sangat membutuhkan dukungan moril maupun materil yang bersifat kondusif dari pihak pimpinan. Ada beberapa hal yang harus diantisipasi dalam model ini, di antaranya adalah akan bervariasinya sistem kurikulum di sekolah karena menerapkan partisipasi sekolah dan masyarakat secara demokratis. Sehingga apabila tidak terkontrol (tidak ada kendali mutu), maka cenderung banyak mengabaikan kebijakan pusat.
- 4. Model Demostrasi
Model pengembangan kurikulum idenya datang dari bawah (grass roots). Semula merupakan suatu upaya inovasi kurikulum dalam skal kecil yang selanjutnya digunakan dalam skala yang lebih luas, tetapi dalam prosesnya sering mendapat tantangan atau ketidaksetujuan dari pihak-pihak tertentu. Menurut Smith, Stanley, dan Shores, ada dua bentuk mpdel pengembangan ini.
Pertama, sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah yang diorganisasi dan ditunjuk untuk melaksanakan suatu uji coba atau eksperimen suatu kurikulum. Unit-unit ini melakukan suatu proyek melalui kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan suatu model kurikulum. Hasil dari kegiatan penelitian dan pengembangan ini diharapkan dapt digunakan pada lingkungan sekolah yang lebih luas. pengembangan model ini biasanya diprakarsai oleh pihak Departemen Pendidikan dan dilaksanakan oleh kelompok guru dalam rangka inovasi dan perbaikan suatu kurikulum.
Kedua, dari beberapa orang guru yang merasa kurang puas tentang kurikulum yang sudah ada, kemudian mereka mengadakan eksperimen, uji coba dan mengadakan pengembangan secara mandiri. Pada dasarnya guru-guru tersebut mencobakan yang dianggap belum ada, dan merupakan suatu inovasi terhadap kurikulum, sehingga berbeda dengan pengembangan yang berlaku, dengan harapan akan ditemukan pengembangan kurikulum yang lebih baik dari yang ada.
Ada beberapa kebaikan dalam penerapan model pengembangan ini, diantaranya adalah:
a. kurikulum ini lebih nyata dan praktis karena dihasilkan melalui proses yang telah diuji dan diteliti secara ilmiah,
b. perubahan kurikulum dalam skala kecil atau pada aspek yang lebih khusus kemungkinan kecil akan ditolak oleh pihak administrator, akan berbeda dengan perubahan kurikulum yang sangat luas dan kompleks,
c. hakekat model demonstrasi berskala kecil akan terhindar dari kesenjangan dokumen dan pelaksanaan di lapangan,
d. model ini akan menggerakkan inisiatif, kreatifitas guru-guru serta memberdayakan sumber-sumber administrasi untuk memenuhi kebutuhan dan minat guru dalam mengembangkan program baru.
- 5. Model Miller-Seller
Pengembangan kurikulum ini ada perbedaan dengan model-model sebelumnya. model pengembangan kurikulum Miller-Seller merupakan pengembangan kurikulum kombinasi dari model transmisi (Gagne) dan model transaksi (Taba’s & Robinson), dengan tahapan pengembangan sebagai berikut:
- Klarifikasi Orientasi Kurikulum
Orientasi ini merefleksikan pandangan filosofis, psikologos, dan sosiologis terhadap kurikulum yang seharusnya dikembangkan. Menurut Miller dan Seller, ada tiga jenis orientasi kurikulum yaitu tranmisi, transaksi, dan transformasi.
b. Pengembangan Tujuan
Langkah selanjutnya adalah mengembangkan tujaun umum dan tujuan khusus berdasarkan orientasi kurikulum yang bersangkutan. Tujuan umum dalam konteks ini adalah merefleksikan pandangan orang (image person) dan pandangan (image) kemasyarakatan. Tujuan pengembangan merupakan tujuan yang masih relative umum. Oleh karena itu, perlu dikembangkan tujuan-tujuan yang lebih khusus hingga pada tujuan instruksional.
- Identifikasi Model Mengajar
Pada tahap ini pelaksana kurikulum harus mengidentifikasi strategi mengajar yang akan digunakan yang disesuaikan dengan tujuan dan orientasi kurikulum. Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam menentukan model mengajar yang akan digunakan, yaitu:
1) Disesuaikan dengan tujuan umum maupun tujuan khusus.
2) Strukturnya harus sesuai dengan kebutuhan siswa.
3) Guru yang menerapkan kurikulum ini harus sudah memahami secara utuh, sudah dilatih, dan mendukung model.
4) Tersedia sumber-sumber yang esensial dalam pengembangan model.
- Implementasi
Implementasi sebaiknya dilaksanakan dengan memperhatikan komponen-komponen program studi, identifikasi sumber, pernana, pengembangan professional, penetapan waktu, komunikasi, dan sistem monitoring. Langkah ini merupakan langkah akhir dalam pengembangan kurikulum. Prosedur orientasi yang dibakukan pada umumnya tidak sesuai dengan kurikulum transformasi, sebaliknya kurikulum transmisi pada umumnya menggunakan teknik-teknik evaluasi berstruktur dalam menilai kesesuaian antara pengelaman-pengalaman, strategi be;ajar dan tujuan pendidikan.
- 6. Model Taba (Inverted Model)
Model Taba merupakan modifikasi model Tyler. Modifikasi tersebut penekanannya terutama pada pemusatan perhatian guru. Menurut Taba, guru harus penuh aktif dalam pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum yang dilakukan guru dan memposisikan guru sebagai innovator dalam pengembang kurikulum merupakan karakteristik dalam model pengembangan Taba. Dalam pengembangannya, model ini lebih bersifat induktif, berbeda dengan model tradisional yang deduktif.
Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a. Mengadakan unit-unit eksperimen bersama dengan guru-guru.
Dalam kegitaan ini perlu mempersiapkan (1) perencanaan berdasarkan pada teori-teori yang kuat, (2) eksperimen harus dilakukan di dalam kelas agar menghasilkan data empiric dan teruji.
b. Menguji unit eksperimen.
Unit yang dihasilkan pada langkah pertama diujicobakan di kelas-kelas eksperimen pada berbagai situasi dan kondisi belajar. Pengujian dilakukan untuk mengetahui tingkat validitas dan kepraktisan sehingga dapat menghimpun data untuk penyempurnaan.
c. Mengadakan revisi dan konsolidasi
Perbaikan dan penyempurnaan dilakukan berdasarkan data yang dihimpun sebelumnya. selain perbaikan dan penyempurnaan, dilakukan juga konsolidasi, yaitu penarikan kesimpulan pada hal-hal yang bersifat umum dan konsisten teori yang digunakan.
d. Pengembangan keseluruhan kurikulum (developing’ a framework).
Langkah ini merupakan tahap pengkajian kurikulum yang telah direvisi.
e. Implementasi dan desiminasi.
Dalam tahap ini dilakukan penerapan dan penyebarluasan program ke daerah dan sekolah-sekolah, dan dilakukan pendataan tentang kesulitan serta permasalaham yang dihadapi guru-guru di lapangan. Oleh karena itu perlu diperhatikan tentang persiapan di lapangan yang berkaitan dengan aspek-aspek penerapan kurikulum.
- 7. Model Beauchamp
Model ini dikembangakan oleh George A. Beuchamp, seorang ahli kurikulum. Menurut Beauchamp, proses pengembangan kurikulum meliputi lima tahap yaitu:
a. Menentukan area atau wilayah akan dicakup oleh kurikulum
Penentuan tahap ini ditentukan pemegang wewenang yang dimiliki pengambil kebijakan dibidang kurikulum.
b. Menetapkan personalia
Tahap ini menentukan siapa saja orang yang akan terlibat dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang sebaiknya dilibatkan, yaitu: para ahli pendidikan atau kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan ahli bidang studi; para ahli pendididkan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih; para professional dalam bidang pendidikan; professional lain dan tokoh masyarakat.
c. Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum
Langkah ini berkenaan dengan prosedur dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi, juga dalam menentukan desain kurikulum secara keseluruhan.
d. Implementasi kurikulum
Tahap ini yaitu pelaksanaan kurikulum yang telah dikembangkan oleh tim pengembang. Dalam pelaksanaan kurikulum dibutuhkan kesiapan guru, siswa, fasilitas, biaya, manajerial dan kepemimpinan sekolah.
e. Evaluasi kurikulum
Hal-hal penting yang dievaluasi yaitu: pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru, desain kurikulumnya, hasil belajar siswa, keseluruhan dari sistem kurikulum.